PEMIKIRAN IBN KHALDUN
ANALISIS PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBN KHALDUN
a. Biografi
Ibn Khaldun
Ibn Khaldun nama
lengkapnya adalah Abdur Rahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun ia dilahirkan
pada tanggal 27 Mei 1332 di Tunisia. Ia berasal dari keluargs politisi, intelektual,
dan aristokrat. Sebelum ia menyeberang ke Afrika keluarganya adalah
anti-politik di Moorish,Spanyol selama beberapa abad. Latar belakang keluarga
yang tampaknya mempengaruhi dan menentukan perkembangan pikirannya, dan telah
mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya, sedangkan jatuh
bangunnya dinasti-dinasti Islam terutama Dinasti Umayyah dan Abbasiyah
memberikan kerangka berpikir dan teori-teori ilmu sosial serta filsafatnya
Salah satu karya beliau
antara lain: Muqaddimah dan Sejarah Alam Semesta. Dalam hidupnya beliau selalu
berpindah-pindah dan selalu menjadi orang penting dari satu tempat ke tempat
lain, terakhir ia menjabat sebagai ketua Mahkamah Agung sampai ia meninggal
pada tahun1406 dalam usia 74 tahun.[1]
b. Pemikiran
Dalam Bidang Pendidikan
Pemikiran Ibn Khaldun
dalam bidang pendidikan meliputi tentang manusia didik, ilmu, metode
pengajaran, dan spesialisasi. Dalam melihat manusia ia tidak terlalu menekankan
kepada kepribadiannya akan tetapi kepada hubungannya dan interaksinya terhadap
kelompok yang ada dalam masyarakat. Dalam konsep ini sering disebut sebagai
salah satu pendiri sosiolaogi dan antropologi
Ibn Khaldun berpandangan
bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu mampu melahirkan
ilmu dan teknologi, dan sifat-sifat ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Selanjutnya ia
berpaendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh
peradaban
Berkenaan dengan ilmu
pengetahuan Ibn Khaldun membagi menjadi tiga macam yaitu ilmu lisan, ilmu
naqlidan ilmu aqli
Dalam metode pengajaran
Ibn Khaldun menggunakan metode berangsur-angsur,setapak demi setapak dan
sedikit demi sedikit. Dan ia menganjurkan agar seorang itu bersikap sopan dan
halus pada muridnya, hal ini juga termasuk sikap orang tua terhadap anaknya,
karena orang tua adalah guru utama bagi anaknya.[2] Guru
harus mampu menarik perhatian muridnya , menjaga mereka hingga pikiran mereka
terbuka dan berkembang sendiri.Guru harus membiasakan perilaku yang baik kepada
murid-muridnya, memberi contoh, dan tidak mengajari mereka dengan perkataan
saja. Seorang guru harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.[3] Menurut
Ibn Khaldun keahlian adalah sifat dan corak jiwa tidak dapat tumbuh serempak.
Dari beberapa uraian
diatas, terlihat bahwa Ibn Khaldun adalah seorang tokoh filsuf, dan juga
sebagai tokoh sosiolog yang memiliki perhatian yang sangat besar terhadap
pendidikan, konsep pendidikannya sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap
manusia sebagai makhluk yang harus dididik dalam rangka melaksanakan fungsi
sosialnya ditengah-tengah masyarakat.
Pemikirannya dalam
bidang pendidikan bermula dari presentasi ensiklopedia ilmu pengetahuannya. Hal
ini merupakan jalan untuk membuka teori tentang pengetahuan dan presentasi umum
mengenai sejarah sosial dan epitomologi berdasarkan perkembangan ilmu
pengetahuan.Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan mengelompokkan ilmu
pengetahuan menjadi dua macam, yakni; pengetahuan rasional dan pengetahuan
tradisional. Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh dari
kebaikan yang berasal dari pemikiran yang alami. Sedangkan pengetahuan
tradisional merupakan pengetahuan yang subjeknya, metodenya, dan hasilnya,
serta perkembangan sejarahnya dibangun oleh kekuasaan atau seseorang yang
berkuasa.
c. Konsep atau tujuan
pendidikan
Pendidikan menurut Ibnu
Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman
untuk dapat memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat.
Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.Pemikiran Ibnu Khaldun
dalam hal pendidikan ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang dikenal dengan
sebutan Muqaddimah. Sebagai seorang filsuf muslim pemikirannya memanglah sangat
rasional dan berpegang teguh pada logika. Corak ini menjadi pijakan dasar
baginya dalam membangun konsep-konsep pendidikan. Menurutnya paling tidak ada
tiga tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam, yaitu peningkatan
kecerdasan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia,
peningkatan segi kerohanian manusia. Sehingga diharapkan pendidikan Islam mampu
menciptakan manusia yang siap menghadapi berbagai fenomena social yang ada
disekitarnya.
d. Kurikulum dan Materi Pendidikan
Pengertian kurikulum
pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan
yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang
terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji
oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum
modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat
unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai,
pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan,
pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran
serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk
mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan. Dalam pembahasannya mengenai
kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku
pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara
Islam bagian Barat dan Timur. Kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada
peserta didik dalam pemikiran Ibnu Khaldun meliputi tiga hal, yaitu: pertama,
kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan
syair). Kedua, kurikulum sekunder yaitu matakuliah untuk mendukung memahami Islam
(seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika). Ketiga kurikulum primer
yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, dan sebagainya).
Adapun pandangannya
mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen
operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu
itu menjadi dua macam yaitu:
1. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah
yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah
menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu
ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan
Hadits.
Ibn Khaldun menyusun
ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingannya bagi peserta didik
kepada beberapa ilmu, yaitu :
1. Al-Quran
dan Hadits
2. Ulum
al-Quran
3. Ulum
Hadits
4. Ushul
Fiqh
5. Fiqh
6. Ilm
al-Kalam
7. Ilm
al-Tasawuf
8. Ilm
al-Ta’bir Ru’ya[4]
Menurutnya,Al-quran
adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak. Al-Quran mengajarkan
kepada anak tentang syariat Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan
dijunjung tinggi oleh setiap umat Islam.[5]
Ilmu-ilmu naqli hanya
ditujukan untuk dipelajari pemeluk Islam. Walaupun dalam setiap agama
sebelumnya ilmu-ilmu tersebut telah ada, akan tetapi berbeda dengan yang
tedapat dalam Islam. Dalam Islam, eksistensi ilmu berfungsi menasakhkan
ilmu-ilmu dari setiap agama yang lalu dan mengembangkan kebudayaan manusia
secara dinamis.[6]
2. Ilmu-ilmu
filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami
bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini
dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan
peradaban umat manusia di dunia.
Ilmu aqli di bagi menjadi empat kelompok,
yaitu :
1.
Ilmu Logika (Mantiq)
2.
Ilmu Fisika ; termasuk di dalamnya ilmu
kedokteran dan ilmu Pertanian
3.
Ilmu Metafisika (Il-al Ilahiyat)
4.
Ilmu Matematika termasuk di dalamnya ilmu
Geografi, Aritmatka dan al-Jabar, ilmu Musik, ilmu astronomi dan ilmu Nujum[7]
. Walaupun Ibnu Khaldun
banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia
tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya.
Ibnu Khaldun membagi
ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang
masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1.
Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari
tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2.
Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu
kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika).
3.
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu
agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu
lain yang membantu mempelajari agama.
4.
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu
filsafat, yaitu logika.
e. Metode Pendidikan
Pandangan Ibnu Khaldun
tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada buku
Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat
kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah
diterapkan metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode
mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh
anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku
Muqaddimahnya.
Didalam memberikan
pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem-problem
pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal
anak didik.Kedua:Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari
pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan
terperinci.Ketiga:Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan
kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas
semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang
sempurna. Demikian itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam
proses belajar mengajar.
Ibnu Khaldun juga
menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah
terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk
berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau
dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan
inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat
anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Disamping metode yang sudah
disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan
metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih
cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu
Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala,
melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya
belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat
memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan
berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa
yang dipelajarinya.
f. . Pendidik
Pendidik dalam pandangan
Ibnu Khaldun haruslah orang yang berpengetahuan luas, dan mempunyai kepribadian
yang baik. Karena pendidik selain sebagai pengajar di dalam kelas, pendidik
juga harus bisa menjadi contoh atau suri tauladan bagi peserta didiknya. Ibnu
Kholdun menganjurkan agar para guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang
kepada peserta didiknya, mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling
pengertian, tidak menerapkan perilaku keras dan kasar, sebab sikap demikian
dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka, peserta
didik bisa menjadi berlaku bohong, malas dan bicara kotor, serta berpura-pura,
karena didorong rasa takut dimarahi guru atau takut dipukuli. Dalam hal ini,
keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para
peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan
dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang mereka saksikan, dari pada yang
dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau perintah-perintah.
g. Peserta didik
Sedangkan konsepnya
mengenai peserta didik, bahwa peserta didik merupakan orang yang belum dewasa
dan memiliki potensi. Maka dari itu peserta didik membutuhkan bimbingan orang
dewasa untuk mengembangkan potensi ke arah yang lebih baik dengan potensi dan
fitrah yang telah ada. Peserta didik ibarat wadah yang siap untuk di beri
pengetahuan yang baru.[8]
[3]
Husayn Ahmad
Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam,(Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), cet-1 h. 243-244
[5]
Ahamad Fuad
al-ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islam (Mesir : Dar al-Maarif,t
th.) h.218
[6]
Abd. Al-Rahman Ibn
Khaldun, Muqaddimah Ibn khaldun, Tahqiq ali Abd. Al-Wahid
Wafi. (Cairo : Dar al-Nahdhah, t.th.) jilid 1 h. 1027
[7]
Ramayulis, Op Cit. H
283
Komentar
Posting Komentar