pengertian wahyu alquran
1.
PENGERTIAN
WAHYU ALQURAN
1.
Pengertian
Wahyu Secara Etimologis
Penyampaian
sabda tuhan kepada manusia pilihannya tanpa di ketahui orang lain, agar
diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan hidup baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
2.
Pengertian wahyu secara Terminologi
pemberitahuan ALLOH SWT kepada hambanya yang
terpilih mengenai segala sesuatu yang Ia kehendaki untuk di kemukakannya, baik
berupa petunjuk atau ilmu, namun penyampaiannya secara rahasia dan tersembunyi
serta tidak terjadi pada manusia biasa.
·
Proses komunikasi ALLOH kepada malaikat
Komunikasi pewahyuan antara ALLOH dengan para
malaikat sering terjadi, dan terjadi secara langsung tanpa perantara bahkan
malaikatpun, tanpa kesulitan dalam memahami firman ALLOH.
·
Sebagaimana Q.S al- syuara 42:51 terdapat
tiga bentuk komunikasi antara ALLOH dengan nabi\ rosul. Melalui wahyu
(komunikasi misterius). Dalam hal ini kebenaran yang di sampaikan ke dalam
kalbu atau jiwa seseprang tanpa terlebih dahulu timbul pikiran dan kebenaran itu menjadi terang bagi yang bersangkutan . 1)Wahyu dalam
bentuk yang pertama ini semacam komunikasi langsung yang merupakan karunia
khusus dari Allah yg diberikan kepada Nabi pilihan-Nya. Seperti mimpi yang
benar yang diterima oleh Nabi Ibrahim Q.S. al-Shaffat/37: 101-112. dan mimpi
yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad sebelum menerima Q.S. al-Alaq.Dari Balik
Tabir: 2)Penerimaan wahyu pada kasus ini sama sekali tidak melihat si pemberi
wahyu. Sekalipun tidak melihat apa-apa, Nabi mempunyai kesadaran yang sangat
jelas bahwa di suatu tempat di dekatnya ada hal ghaib yang berbicara kepadanya
dengan cara yang asing. Misalnya Q.S. Al-A’raf/7:143; Q.S. an-Nisa’/4:164.
3) Komunikasi Verbal
melalui utusan khusus..
Fungsi Al Quran
Di kalangan
ulama di jumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar prngertian alquran baik
dari segi bahasa maupun istilah. Assyafi’I misalnya mengatakan bahwa alquran
bukan berasal dari kata apapun dan bukan pula di tulis dengan memakai hamzah.
Lafal tersebut sudah lazim di gunakan dalam pengertian kalamulloh yang di
turunkan kepada nabi Muhammad saw.
Sedangkan
menurut istilah ada beberapa pendapat
Manna’ al qattan
secara ringkas mengutip pendapat para ulama’ pada umumnya menyatakan bahwa alquran
adalah firman ALLOH yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada nabi dan
rosul yang terakhir dengan perantara malaikat jibril yang tertulis dalam mushaf
yang di sampaikan kepada kita secara mutawatir dan yang membacanya di anggap
sebagai ibadah,yang di mulai dari surat al fatihah dan di tutup dengan an
nas.sedangkan menurut abd. Wahab al khallaf alquran adalah firman alloh yang
diturunkan kepada hati rosululloh,melalui jibril dengan menggunakan lafal
bahasa arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi rosul, bahwa
ia benar2 rosululloh, menjadi undang2 bagi manusia, member petunjuk pada
mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada
alloh dengan membacanya.
Oleh karena
itu alquran berfungsi sebagai sumber hokum islam yang
utama, yang di yakini berasal dari alloh dan mutlak kebenarannya.keberadaan
alquran sangatlah di butuhkan manusia. Karena manusia dengan segala daya yang
dimilikinya tidak dapat memecahkan masalah yang di hadapinya. Bagi mu’tazilah
al quran berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal
dan pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak di ketahui oleh
akal manusia.
Di dalam al
quran terkandung petunjuk hidup tentang
berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang
menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat yang lain atau oleh hadis.Selanjutnya
alquran juga berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalanya kehidupan
manusia agar berjalan lurus, itulah sebabnya ketika umat islam berselisih dalam
segala urusannya hendaknya ia berhakim kepada al quran. Al quran lebih lanjut
memerankan fungsi sebagai pengantrol dan pengoreksi terhadap perjalanan hidup
manusiadi masa lalu.
2.
Hubungan Al-Quran dengan Ijma’ dan
Qiyas
Pengertian ijma’:
Ijma’ sdalah kesepakatan ulama’ melalui ijtihad terhadap suatu hukum yang
tidak dijelaskan secara konkret
Pengertian Qiyas:
Qiyas adalah deduksi analogi, yaitu salah satu metode
istinbat hukum jalur ma’nawi yang prinsip prosedur berfikir hukumnya adalah
mengukur atau menyamakan antara suatu fenomena perbuatan hukum yang tidak
terdapat keterangan nash dengan suatu fenomena perbuatan hukum yang ada
nash-nya karena ada kesamaan illat.
Jadi possisi hadis,ijma’ dan qiyas adalah sebagai penjelas isi yang ada
dalam Alqur An yang belum dijelaskan
seca konkret.
Ijma’ dan qiyas pada
masa kehidupan rasulullah SAW merupakan suatu media yang tidak dibutuhkan,
sebab rasulullah SAW bertindak sebagai peletak dan penjelas hukum-hukum yang
datang dari Allah SWT.
Sepeninggalnya beliau
SAW, banyak kejadian yang tidak ditemukan hukumnya dalam al-Kitab dan sunnah
rasul SAW, sehingga memerlukan pengamatan dan penelitan serta pendekatan dengan
suatu hukum yang telah ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pertanyaan: kapankah
timbulnya methode ijma’ dan qiyas ini, apakah pada zaman sahabat? Ataukah pada
masa tabi’in?
Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa kedua methode tersebut timbul pada masa sahabat RA, dan
dari sinilah bermulanya dasar-dasar ilmu Usul fiqih yang empat yang telah
dikenal saat ini. Sebagaimana riwayat yang mengisahkan tentang peristiwa
berangkatnya Mu’az bin Jabal ke Yaman,Mu’az
bercerita bahwa rasulullah SAW bertanya kepadanya: bagaimana caramu
memutuskan suatu perkara? Mu’az menjawab: berpedoman kepada al-Kitab.
Rasulullah bertanya: dan apabila Engkau tidak menemukan jawabannya dalam
Kitabullah? Mu’az menjawab: berpedoman kepada sunnah rasulullah. Rasulullah
kembali bertanya: dan apabila dalam sunnah rasulullah pun tidak engkau temukan
jawabannya? Mu’az berkata: saya berijtihad untuk menemukan yang terbaik dan
tidak putus asa. Mendengar jawabanku Rasulullah SAW menepuk dadaku dan berkata:
Alhamdulillah yang telah memberikan kepada utusan rasulullah petunjuk
sesuai dengan apa yang diridhoi oleh rasulullah. (al-Mulal wan-Nahl, asy-Syahrestani. J:1, H:350)
‘Amer asy-Syu’abi
meriwayatkan dari Syuraih ketika Syuraih menjabat sebagai hakim bahwasanya
khalifah ‘Umar RA mengirimkan surat kepadanya yang berisikan: apabila
engkau dihadang suatu perkara maka tuntaskanlah dengan berpedoman kepada
kitabullah, namun bila perkara tersebut tidak engkau dapatkan
jawabannya[hukumnya] danal kitabullah maka carilah jawabannya dengan berpedoman
kepada sunnah rasulullah SAW, dan apabila engkau tidak menemukan
jawabannya pula dalam sunnah Rasulullah SAW maka tuntaskanlah perkara itu
dengan apa yang telah disepakati dan menjadi ijma sebagian besar masyarakat
[ahli ilmu]
Ibnu al-Qayyem
menjelaskan: sesungguhnya sahabat rasulullah SAW selalu melakukan ijtihad dalam
perkara-perkara yang menghadang mereka RA, dan menjadikan methode qiyas sebagai
media pengukur antara suatu perkara yang telah diputuskan hukumnya pada masa
raslullah SAW dan perkara yang belum ada hukumnya yang sedang mereka alami,
hingga mereka mencapai suatu kesepakatan dan kejelasan hukum mengenai perkara
itu. (I’laam al-Muwaqi’in. H:177)
Banyak contoh kasus yang
dapat dijadikan sebagai jawaban atas pertanyaan diatas, diantaranya :
1/ Ketika khalifah ’Umar
RA mengetahui bahwa Samra bin Jundub menjual minuman keras kepada orang non
muslim [kitabi], maka ia berkata: Allah SWT memerangi dan melaknat Samra,
apakah dia tidak mengetahui bahwa rasulullah SAW bersabda: Allah telah melaknat
kaum yahudi, sebab walaupun mereka telah diharamkan baginya lemak ternak, akan
tetapi mereka tetap menjualnya. (Muslim, Sharh an-Nawawi. J:4 H:9 dan sunan
al-Baihaqy J:6 H 12)
Dalam kasus ini ‘Umar RA
mengqiyaskan minuman keras [Khamr] yang diharamkan untuk dikonsumsi bagi ummat
Islam kepada lemak ternak yang diharamkan untuk dikonsumsi bagi orang yahudi.
Laknat Allah yang menimpa mereka bukan karena mereka mengkonsumsinya akan
tetapi karena mereka telah mengetahui hukumnya, namun mereka tetap memanfaatkan
lemak tersebut untuk dijual, sama halnya dengan khamr yang telah diharamkan
akan tetapi dimanfaatkan oleh Samra bin jundub untuk menjualnya kepada orang
non muslim.
2/ Ijma’ sahabat bahwa
hamba sahaya adalah dihitung setengah dibandingkan dengan orang bebas, dalam
masalah perceraian, iddah dsb. Hal tersebut diqiyaskan kepada firman Allah SAW
pada ayat 25 Surah an-Nisaa’ : Dan apabila mereka [wanita hamba sahaya] telah
menikah, kemudian berzina, maka hukumannya setengah dari hukuman wanita
muslimah bebas.
Ibnu al-Qayyim berkata:
sepeninggalnya rasulullah SAW para sahabat melakukan ijtihad untuk mengetahui
hukum yang belum ada penafsirannya pada masa rasulullah SAW, dengan berprinsip
kepada asas [qa’edah] : “Persamaan kebenaran adalah benar dan persamaan ketidak
benaran adalah tidak benar” (I’laam al-Muwaqi’in. J:1, H:177-178)
Sahabat melakukan qiyas
dengan tiga methode yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya yang
kemudian dikenal sekarang dengan sebutan qiyas, ketiga methode trsebut ialah:
1/ al-Amtsaal [contoh
kasus yang sama]
2/ al-Asybaah [contoh
kemiripan kasus]
3/
al-Nazdaaer [ perbandingan antara kedua kasus] (I’laam al-Muwaqi’in. J:1,
H:185
Komentar
Posting Komentar